PRINSIP AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH
DALAM PERMASALAHAN IMAN DI ANTARA DUA NERACA KESESATAN AQIDAH KHOWARIJ DAN
AQIDAH MURJI'AH
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين
Segala puji hanyalah milik Allah ﷻ yang telah menjadikan di setiap zaman suatu masa dari masa-masa para Rasul berupa segolongan dari kalangan ulama yang menyeru orang-orang yang tersesat kepada hidayah, mereka senantiasa bersabar terhadap gangguan dari orang-orang sesat tersebut, mereka menghidupkan orang-orang yang mati hatinya dengan Al-Qur'an, mereka menerangi orang-orang yang terbutakan mata hatinya dengan cahaya Allah ﷻ, betapa banyak dari orang-orang yang telah terjerat Iblis kemudian mereka sadarkan, dan betapa banyak orang yang jauh tersesat kemudian mereka bimbing kepada hidayah, mereka meluruskan penyelewengan terhadap Al-Qur'an dan As-Sunnah yang dilakukan oleh para penyeru kesesatan.
Amma Ba'du,
Sebelum kita membahas kerancuan pola pikir serta rusaknya aqidah sekte Khowarij dan sekte Mur'ji'ah dalam permasalahan iman, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu i'tiqod atau keyakinan prinsipil ahlus sunnah wal jama'ah yang berpijak di atas manhaj dan aqidah para salaf dalam permasalahan iman / keimanan.
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah yang senantiasa menapaki jejak para salaf dalam seluruh aspek keagamaan menetapkan bahwasanya iman itu meliputi :
1. Ucapan dengan lisan.
2. Pengakuan dan pembenaran serta meyakininya di dalam hati.
3. Memanifestasikan wujud ucapan dengan lisan dan pembenaran dalam hati tersebut ke dalam bentuk amalan-amalan perbuatan yang nyata.
4. Dan meyakini bahwa sebuah keimanan itu bertingkat-tingkat, dapat bertambah dengan keta'atan dan dapat berkurang dengan kemaksiatan dan bahkan dapat hilang dengan kekafiran.
Rasulullah ﷺ bersabda menjelaskan tentang perbedaan tingkatan keimanan :
《 الإيمان بضع وسبعون شعبة فأعلاها قول لا إله إلا الله وأدناها إماطة الأذى عن الطريق والحياء شعبة من الإيمان 》
“Keimanan itu ada sekitar 70 cabang lebih, yang paling puncak adalah “ucapan la ilaha illallah” dan yang paling rendahnya adalah “menyingkirkan rintangan / gangguan dari jalan” dan “rasa malu” itu adalah salah satu cabang dari cabang-cabang keimanan (yang berjumlah lebih dari 70 cabang tersebut).” [HR. Al-Bukhori dan Muslim]
Rasulullah ﷺ juga menerangkan bahwa keimanan itu dapat bertambah dan berkurang bahkan hingga ke titik yang paling rendah sebagaimana dalam hadits Hudzaifah radiallahu anhu yang diriwayatkan oleh imam Muslim dalam shohihnya :
《 تعرض الفتن على القلوب كالحصير عودا عودا فأي قلب أشربها نكت فيه نكتة سوداء وأي قلب أنكرها نكت فيه نكتة بيضاء حتى تصير على قلبين على أبيض مثل الصفا فلا تضره فتنة ما دامت السموات والأرض والآخر أسود مربادا كالكوز مجخيا لا يعرف معروفا ولا ينكر منكرا إلا ما أشرب من هواه 》
“Akan dipaparkan fitnah-fitnah ke dalam hati-hati bagaikan tumpukan jerami sehelai demi sehelai, hati mana saja yang meneguknya maka akan ditulis padanya setitik warna hitam dan hati mana saja yang mengingkari fitnah tersebut maka akan dituliskan padanya setitik warna putih begitu seterusnya hingga menjadilah dua buah hati, hati yang putih cemerlang tidak memudhorotkannya fitnah apapun selama langit dan bumi tegak berdiri, dan hati yang hitam legam tidak mampu mengenali kebaikan dan tidak pula mengingkari kejelekan melainkan sebatas apa yang menjadi selera hawa nafsunya.”
Dalam 2 hadits di atas menunjukkan kepada kita bahwasanya keimanan itu meliputi 4 perkara pokok yaitu amalan lisan seperti mengucapkan syahadat, dan meliputi amalan dengan anggota badan seperti menyingkirkan gangguan dari jalan, dan meliputi amalan dengan hati seperti memiliki rasa malu, dan juga bahwasanya keimanan itu bertambah dan berkurang seiring dengan tingkat ketaatan seorang hamba kepada Allah ﷻ.
Allah ﷻ berfirman menjelaskan bahwasanya pengamalan setiap mukmin dalam mengejawantahkan sebuah keimanan itu juga bertingkat-tingkat :
{ ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ }
“Kemudian Kitab itu (Al-Qur'an) Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang “menganiaya diri mereka sendiri” dan di antara mereka ada yang “pertengahan” dan di antara mereka ada (pula) yang “bergegas dalam berbuat kebaikan” dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS. Fatir 32)
Ibnu Abbas radiallahu anhu menafsirkan makna kalimat : “orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami" dalam ayat di atas dengan ucapan beliau :
《 هم أمة محمد ﷺ 》
“mereka itu adalah umat Muhammad ﷺ.” [tafsir Ibnu Katsir]
Pada ayat di atas Allah ﷻ mengelompokkan hamba-hamba-Nya yang beriman ke dalam 3 golongan :
1. Golongan orang-orang beriman yang mendzalimi diri-diri mereka sendiri dengan meninggalkan sebagian perkara yang diwajibkan dan terjatuh dalam sebagian perbuatan dosa serta maksiat.
2. Golongan pertengahan yaitu mereka yang beriman dan melaksanakan perintah yang Allah ﷻ wajibkan kepada mereka serta meninggalkan larangan Allah ﷻ namun mereka tidak mengerjakan perkara-perkara yang dianjurkan (amalan-amalan sunnah, amalan-amalan fadilah / keutamaan) dan sebaliknya mereka justru terjatuh dalam perkara-perkara yang makruh.
3. Golongan orang-orang yang terdepan yaitu orang-orang yang bergegas dalam melakukan amalan kebaikan yang diwajibkan kepada mereka maupun yang disunnahkan dan mereka juga meninggalkan larangan serta mensucikan diri dari hal-hal yang makruh.
Oleh karena itulah di sisi ahlus sunnah wal jama'ah yang mana mereka senantiasa berpijak di atas jejak salaf dalam segala aspek keagamaan telah tetap bahwasanya hakekat sebuah keimanan itu haruslah ada dalam diri setiap muslim (mutlak al-iman) yakni bahwasanya asas / pondasi / asal dari sebuah keimanan itu tetap ada bersamaan dengan adanya perbuatan maksiat dan dosa pada diri seorang muslim, dalam artian lain seorang muslim yang terjatuh dalam dosa dan maksiat tetap terhukumi sebagai seorang yang beriman di satu sisi dengan keimanan yang cacat / kurang dan di sisi lainnya dia terhukumi sebagai seorang yang fasik berdasarkan dosa dan maksiat yang dikerjakannya, maka tidaklah tercabutkan hakekat keimanan pada dirinya secara mutlak / menyeluruh selama dia tidak melakukan amalan kekufuran dimana telah ditegakkan padanya hujjah / penjelasan akan kufurnya amalan tersebut, tidak pula dia berhak untuk menyandang keimanan secara mutlak / sempurna sebagaimana keimanannya seorang ahli ibadah yang taat.
Allah ﷻ berfirman :
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ }
“Hai "orang-orang yang beriman", janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah 1)
Ayat di atas Allah ﷻ menetapkan adanya keimanan bersamaan dengan adanya kemaksiatan berupa tindakan berwala' / berloyalitas kepada orang-orang kafir, namun walaupun begitu Allah ﷻ tetap menyeru mereka dengan panggilan keimanan : "wahai orang-orang yang beriman"
Dalam ayat lain Allah ﷻ berfirman :
{ وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ }
“dan jika ada dua golongan dari "orang-orang yang beriman" itu saling berperang hendaklah kalian mendamaikan antara keduanya.” (QS. Al Hujurat)
Imam Ibnu Katsir rohimahullah berkata menafsirkan ayat di atas :
《 فسماهم مؤمنين مع الاقتتال بهذا استدل البخاري وغيره على أنه لا يخرج عن الإيمان بالمعصية وإن عظمت لا كما يقوله الخوارج ومن تابعهم 》
“Allah ﷻ menamakan orang-orang di dalam ayat tersebut sebagai orang-orang yang beriman bersamaan dengan adanya tindakan perang / saling bunuh di antara mereka, dengan ayat ini pula imam Al-Bukhori dan yang selain beliau berdalil bahwasanya keimanan itu tidaklah hilang terhapuskan dengan sebab maksiat betapapun besarnya maksiat tersebut !, tidak sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Khowarij !!!” [tafsir Ibnu Katsir]
Sudah menjadi suatu hal yang maklum bahwa pembunuhan tanpa hak itu merupakan dosa yang besar, namun walaupun begitu Allah ﷻ tetap menyebut mereka dengan sebutan keimanan, : "dan apabila dua golongan dari orang-orang yang beriman saling berperang."
Inilah aqidah dan manhaj salafi, manhaj ahlus sunnah wal jama'ah yang meyakini bahwa seorang muslim pelaku kemaksiatan dan dosa besar yang masih di bawah kesyirikan maka hukuman bagi mereka di akhirat kelak adalah sepenuhnya di bawah kehendak Allah ﷻ, jika Allah ﷻ berkehendak Allah ﷻ akan mengampuninya dengan rahmat-Nya yang luas atau mengadzabnya terlebih dahulu di neraka dengan hikmah dan keadilan Allah ﷻ yang sempurna baru kemudian Allah ﷻ akan membebaskan dia dan memasukkan dia ke dalam surga.
Diriwayatkan oleh imam Muslim dalam shohihnya dari sahabat Abu Sa'id Al-Kudri radiallahu anhu, Rasulullah ﷺ bersabda :
《 يدخل الله أهل الجنة الجنة يدخل من يشاء برحمته ويدخل أهل النار النار ثم يقول انظروا من وجدتم في قلبه مثقال حبة من خردل من إيمان فأخرجوه. فيخرجون منها حمما قد امتحشوا. فيلقون في نهر الحياة أو الحيا فينبتون فيه كما تنبت الحبة إلى جانب السيل ألم تروها كيف تخرج صفراء ملتوية 》
“Allah ﷻ memasukkan pengguni Surga ke dalam Surga dan Allah ﷻ memasukkan ke dalamnya "siapa saja yang Dia kehendaki" dengan rahmat-Nya, dan Allah ﷻ memasukkan penduduk neraka ke dalam neraka kemudian Allah ﷻ berkata (kepada malaikat) : 《 lihatlah barangsiapa yang kalian dapati di dalam hatinya ada sebiji sawi (setitik) dari keimanan maka keluarkanlah dia dari neraka 》, Maka malaikat pun mengeluarkan mereka dari neraka dalam keadaan hangus terbakar, maka kemudian dilemparkanlah dia ke dalam sungai kehidupan kemudian tumbuhlah dia sebagaimana tumbuhnya sebutir biji.”
Hadits di atas menunjukkan kepada kita bahwa seorang muslim itu walaupun dia berada di titik keimanan yang paling rendah sekalipun selama wujud keimanan itu ada di dalam hatinya walau setitik maka dia tidak akan kekal di neraka sebagaimana kekalnya orang-orang kafir di neraka, adapun status hukum bagi mereka di dunia maka mereka terhukumi sebagai seorang muslim yang fasiq, kurang dari sisi bobot kualitas keimanan.
Jauh berbeda dengan aqidah Khowarij yang memiliki ciri-ciri dan sifat yang sangat menonjol di antaranya adalah :
1. Pengkafiran terhadap pelaku dosa besar.
2. Pengkafiran kepada seorang muslim yang terjatuh dalam maksiat dan senantiasa bergelimang di dalamnya.
3. Penetapan bahwa sebuah keimanan itu adalah sesuatu yang tunggal / satu, tidak terbagi, apabila hilang sebagiannya maka hilanglah keimanan tersebut secara total / keseluruhan.
4. Melakukan propaganda penentangan / pemberontakan kepada pemerintah kaum muslimin.
5. Tidak menetapkan adanya pemberian dispensasi / udzur terhadap sebuah ketidaktahuan seorang muslim dalam urusan syariat secara mutlak.
6. Pengkafiran secara mutlak kepada siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah ﷻ tanpa perincian.
7. Penetapan bahwa seorang muslim pelaku dosa besar yang meninggal dalam keadaan belum bertaubat maka dia kekal di neraka.
Inilah 7 ciri yang mendasar dari sekte Khowarij.
Dan bukan berarti pula bahwasanya hadits di atas menunjukkan kepada makna penafian akan wajibnya memanifestasikan wujud keimanan ke dalam amalan-amalan perbuatan yang nyata sebagaimana yang dipahami oleh sekte Murji'ah yang menganggap bahwasanya definisi iman itu tidaklah mencakup amalan perbuatan,
Sekte Murji'ah sendiri terbagi menjadi 4 golongan :
1 MURJI’AH JAHMIYAH
Sekte ini mendefinisikan bahwa keimanan itu cukuplah dengan sebuah pengetahuan di dalam hati saja yakni pengetahuan bahwa Allah ﷻ itu ada, tanpa perlu membenarkannya, tanpa perlu mengucapkannya dengan lisan (bersyahadat), tanpa perlu meyakininya di dalam hati maupun mengaplikasikannya ke dalam amalan perbuatan, konsekuensi dari definisi tersebut adalah bahwasanya Fir'aun adalah seorang mukmin dengan keimanan yang sempurna dan bahwasanya keimanan seorang Fir'aun dan bala tentaranya tak ada bedanya dengan keimanan nabi Musa alaihis salam dikarenakan mereka mengetahui dan mengakui dalam hati kecil mereka akan kebenaran ajaran nabi Musa alaihis salam sebagaimana Allah ﷻ kisahkan di dalam Al-Qur'an :
{ قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنْزَلَ هَٰؤُلَاءِ إِلَّا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بَصَائِرَ وَإِنِّي لَأَظُنُّكَ يَا فِرْعَوْنُ مَثْبُورًا }
“Musa berkata (kepada Fir'aun) : "Sesungguhnya kamu itu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir'aun, seorang yang akan binasa.” (QS. Al Isro')
Musa alaihis salam mempersaksikan bahwa sejatinya dalam hati Fir'aun dan bala tentaranya mereka mengakui kebenaran ajaran nabi Musa, akan tetapi disebabkan kesombongan dan kedengkian serta ego yang tinggi membuat Fir'aun enggan untuk menampakkan pengakuan dia akan kebenaran ajaran nabi Musa alaihis salam, maka binasalah Fir'aun dalam kekufuran dan tidaklah bermanfaat baginya sedikitpun pengetahuan dia terhadap kebenaran ajaran nabi Musa alaihi salam.
Allah ﷻ mempersaksikan isi lubuk hati mereka dalam firman-Nya di surat An Naml :
{ وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا ۚ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ }
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) "padahal lubuk hati mereka meyakini (kebenaran)nya". Maka perhatikanlah akhir kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.”
Begitu pula kaum yahudi dan kaum musyrik di sisi sekte Murji'ah Jahmiyyah adalah teranggap kaum yang beriman dengan keimanan yang sempurna dikarenakan mereka mengetahui kebenaran syariat Allah ﷻ :
{ الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ ۖ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ }
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) "mereka mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri." Dan sesungguhnya sebahagian diantara "mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui." (QS. Al Baqoroh)
Bahkan menurut sekte ini keimanan antara Iblis dan para Malaikat itu adalah sama dikarenakan Iblis mengetahui bahwa Allah adalah Rabb / Tuhan mereka, Allah ﷻ mengisahkan kisah Iblis di dalam Al-Qur'an :
{ قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ * قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ * إِلَىٰ يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ * قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ * إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ }
“Berkata iblis : wahai Tuhanku, beri tangguhlah (tundalah kematian) padaku sampai hari kebangkitkan, Allah berfirman: maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai suatu waktu yang telah ditentukan (kiamat), Iblis berkata : wahai Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka (manusia) memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (Al-Hijr 36 - 40)
Dalam ayat di atas menunjukkan bahwa Iblis mengetahui dan membenarkan bahwa Allah ﷻ sebagai Tuhannya, namun walaupun begitu pengakuan dan pengetahuan tersebut tidaklah berarti disebabkan kekufuran dan kedurhakaan mereka kepada Allah ﷻ.
2 MURJI’AH KARROMIYAH
Sekte ini mendefinisikan bahwa keimanan itu hanya cukup dengan ucapan lisan tanpa perlu mengimaninya di dalam hati maupun mengamalkannya dalam amalan perbuatan, konsekuensi dari keyakinan tersebut adalah bahwasanya kaum munafiq adalah teranggap sebagai orang-orang yang beriman dan keimanan mereka tidaklah berbeda dengan keimanan para nabi dan rasul dikarenakan kaum munafiq juga mengucapkan dengan lisannya bahwa mereka beriman kepada Allah ﷻ dan rasul-Nya, Allah ﷻ berfirman :
{ إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ }
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: kami bersaksi, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah dan Allah Maha Mengetahui bahwa sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar Rasul-Nya, dan Allah Maha Mengetahui bahwa "sesungguhnya orang-orang munafiq itu benar-benar orang pendusta" (QS. Al Munafiqun)
Sementara dalam ayat lain Allah ﷻ telah menjelaskan bahwa orang-orang munafiq itu mereka berada di dasar neraka yang paling dalam dan mereka kekal di dalamnya, wal 'iyaadzubillah :
{ وَعَدَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْكُفَّارَ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ هِيَ حَسْبُهُمْ ۚ وَلَعَنَهُمُ اللَّهُ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ مُقِيمٌ }
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, "mereka kekal di dalamnya". Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah melaknati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal.” (QS. At-Taubah)
3 MURJI'ATUL ASYAA’IROH
Di sisi kelompok ini sebuah keimanan itu adalah suatu pembenaran serta pengakuan di dalam hati saja tanpa perlu diikrarkan melalui ucapan maupun dimanifestasikan ke dalam amalan perbuatan.
4 MURJI'ATUL FUQOHA
Kelompok ini mendefinisikan sebuah keimanan itu cukuplah dengan pengucapan dengan lisan serta meyakini dan membenarkannya di dalam hati, dan bahwasanya amalan perbuatan itu tidaklah memberikan pengaruh terhadap asal hakekat keimanan, dengan kata lain seorang muslim yang tidak pernah melakukan satupun amalan perbuatan dalam ibadah sepanjang hayatnya maka tidaklah yang demikian itu mengurangi kadar hakekat keimanan pada dirinya (mutlak al-iman / aslul iman) dikarenakan sebuah amalan perbuatan itu hanyalah suatu penyempurna atau pelengkap dari hakekat keimanan yang telah terucap dengan lisan dan teryakini di dalam hati.
Kelompok ini berdalil dengan beberapa dalil yang sejatinya justru menjadi hujjah atas mereka, di antaranya adalah hadits tentang kisah pembunuh 100 jiwa yang kemudian bertaubat dan memutuskan untuk hijrah / pindah ke sebuah negeri yang penduduknya adalah orang-orang yang baik dan beriman namun sebelum sampai di tempat tujuan diapun wafat di tengah perjalanan, maka Allah ﷻ pun mengutus 2 malaikat, malaikat rahmat dan malaikat adzab untuk mengangkat nyawa lelaki tersebut ke langit, 2 malaikat tersebut pun akhirnya beradu argumen memperselisihkan tentang status hukum bagi lelaki tersebut, malaikat rahmat ingin membawa nyawa tersebut disebabkan nyawa tersebut adalah nyawa yang baik yang tercabut dalam keadaan bertaubat kepada Allah ﷻ, malaikat adzab pun berhujjah / berargumen bahwa lelaki tersebut belum pernah sekalipun melakukan amalan kebaikan, malaikat adzab berkata :
《 إنه لم يعمل خيرا قط 》
“Sesungguhnya dia belum pernah sekalipun beramal kebaikan sama sekali.”
Jawaban terhadap hadits di atas adalah bahwasanya ungkapan malaikat adzab tersebut dikenal di dalam metode gaya bahasa pada bahasa arab sebagai konteks ungkapan mubalaghoh atau hiperbola yaitu dimaksudkan dengannya adalah bahwasanya amalan lelaki tersebut sangatlah sedikit sekali jika dibandingkan dengan dosa-dosa dia, dan bukanlah maknanya adalah bahwa lelaki tersebut tidak memiliki amalan sama sekali sedikitpun dikarenakan pada hakekatnya lelaki tersebut telah menempuh amalan, dia telah bertaubat dan taubat tidaklah terjadi melainkan tentu didahului dengan amalan hati berupa niat dan tekad yang kemudian termanifestasikan bentuk taubat tersebut dengan amalan perbuatan yaitu mencari kebenaran dengan menuntut ilmu, bertanya kepada ulama, kemudian dia berhijrah meninggalkan kemaksiatan dan dosa serta meninggalkan negerinya yang jelek ke negeri yang baik demi mengharap ampunan Allah ﷻ.
Dengan demikian telah kita ketahui sekarang bahwa prinsip ahlus sunnah wal jama'ah adalah senantiasa berpijak di atas aqidah dan manhaj salaf dalam segala aspek keagamaan meliputi aqidah, manhaj, adab, tata krama, ibadah, muamalah.
Dan sebuah keimanan di sisi ahlus sunnah wal jama'ah itu meliputi ikrar dengan lisan, meyakini dan membenarkan di dalam hati serta mengekspresikannya ke dalam amalan perbuatan yang nyata dan bahwasanya suatu keimanan itu dapat bertambah maupun berkurang seukuran ketaatan seorang hamba kepada Rabbnya.
{ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ }
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa) dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal, Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat)
{ وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا ۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ }
“Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat seukuran dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidaklah lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al An'aam)
{ وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا ۖ وَلِيُوَفِّيَهُمْ أَعْمَالَهُمْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ }
“Dan bagi masing-masing hamba adalah derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) atas amalan-amalan perbuatan mereka sedang mereka tidaklah dirugikan.” (QS. Al Ahqof)
Wallahu A'lam.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
✍Abu Usamah Adam bin Sholih bin Ubaid
Darul Hadits As-Salafiyyah, desa Al-Fiyusy / Lahj - Republik Yaman
Jum'at, 8 Rabi'ul Akhir 1438 H
copas dari telegram thullabul ilmi yaman
http://thullab-yaman.blogspot.co.id/